Ternyata, butuh waktu panjang untuk sekedar memahami DIAM.
Waktu panjang?
Hanya sekedar memahami DIAM?
Ya,…
DIAM tak sesederhana seperti yang tampak di permukaan
Sama dengan pelangi yang disusun oleh spektrum cahaya, DIAM pun memiliki tingkatan, nuansa dan dimensi yang berlapis-lapis.
Meskipun tampak sama, DIAM yang penuh pengertian memiliki perbedaan dengan DIAM yang berasal dari rasa tidak perduli, berbeda juga dengan DIAM karena ketidaktahuan.
Tak hanya itu, DIAM yang tercipta oleh “diam”-nya mulut yang bebas dari lontaran kata yang tidak perlu pun, memiliki dimensi yang berbeda dengan “diam” yang tercipta dari batin damai dari angkara murka.
Nah, mengerti kan maksud saya?
Siapa bilang Diam itu mudah?
DIAM tak sesederhana seperti tampaknya,..
Untuk memahami diam maka langkah awal yang harus dilakukan ya dengan DIAM. Mendiamkan diri dari keramaian, mendiamkan panca indra kita, mendiamkan pikiran, mendiamkan keinginan, hingga mendiamkan perasaan.
Untuk memahami diam, seseorang harus memulai untuk membiarkan dirinya masuk dalam aliran proses pengamatan yang total, terutama pengamatan yang mengarah ke dalam diri.
Terpusat ke dalam dirinya. Bukan menjadikan lingkungan sekitar sebagai pusat pengamatan yang justru akan mendorong diri dari diam-nya pikiran dan masuk ke dalam tarikan kutub-kutub penilaian baik dan buruk.
Ketika diri sendiri jadi pusat pengamatan, maka apapun yang terlintas di pikiran, apa yang terasa, terlihat, terdengar tak luput dari pengamatan. Ibarat sedang melihat ke arah langit, mengamati langit berganti warna saat fajar dan senja tiba, mengamati arakan awan bergerak beriringan, mengamati hujan yang turun disertai kilat dan guntur. Mengamatinya tanpa lalu larut dalam perubahan fenomena alam yang sedang mewarnai langit seperti itulah bagaimana mengamati diri sendiri.
Masuknya diri dalam aliran pengamatan dilakukan dengan membiarkan segalanya terjadi dengan apa adanya, mendiamkan diri untuk tidak mudah bereaksi terhadap hal-hal yang terjadi di luar diri. Memberi jeda kepada diri, hal yang mengingatkan saya pada ritual saat minum kopi tubruk yang kental dan manis. Untuk menyesap nikmatnya kopi tubruk, saya harus lebih sabar, menunggu mengendapnya bubuk kopi dalam larutan air kopi panas di dasar cangkir. Diam yang mengamati memberi waktu bagi diri untuk bertemu dengan kebeningan makna dibalik hiruk pikuk dunia, sama halnya dengan betapa kopi tubruk terasa lebih nikmat tanpa campuran residu kopi yang pahit yang ada di dasar cangkir.
Bagi yang terbiasa hidup di gerak cepat dan serba agresif, untuk memulai praktek diam yang mengamati tentunya jadi tantangan. Bayangkan, setelah lama terlatih untuk hidup dengan rpm yang tinggi, cepat, sigap, lalu diminta untuk lebih tenang, diam mengamati. Wajar jika kaget di awal. Namun, selalu ada awal untuk memulai segala sesuatu kan?
Diam – Amati – Sadari – Pahami
Surabaya, 16 September 2013
Diam-tak sesederhana seperti apa yang terekam……salam kenal Mbak. Senang bisa berkunjung
Terima kasih atas kunjungannya mas Aji
Salam 🙏
sama-sama Mbak