Benteng dan tembok tinggi boleh dibangun dan dilengkapi dengan persenjataan terbaik untuk pertahankan diri dari serangan musuh.
It might work if the enemy are there,…outside those thick walls
Apa yang terjadi jika ternyata musuhnya berada di dalam?
Ingat apa yang terjadi pada Troya yang luluh lantak setelah musuh, tentara Yunani, menyerang dari dalam benteng melalui strategi kuda Troya? Perang legendaris itu menunjukkan pembelajaran bahwa musuh yang paling berbahaya adalah yang datang dari dalam.
Begitu juga dengan diri manusia,..
Musuh terbesar manusia bukan setan, iblis, atau manusia jahat lainnya tapi justru dirinya sendiri.
Itulah yang terjadi pada Dini, wanita karir yang multi talenta yang mengeluh karirnya makin lama makin mandeg. Setiap ada kesempatan untuk maju, stand out in the crowd, lalu tak lama kemudian malah surut begitu saja. Berulang beberapa kali. Bahkan kini Dini kalah bila dibandingkan rekan-rekan sekantornya yang notabene dulu adalah juniornya, padahal untuk urusan dedikasi kerja dan loyalitas, apa yang diberikan Dini selama hampir 20 tahun kerja juga bukan sekedar makan gaji buta dari nine to five. Bisa dibilang, Dini termasuk perempuan workacholic. Penggila kerja dan patuh peraturan plus serba bisa. Lulusan S2 universitas negeri pula. Paket lengkap, termasuk packaging fisik yang manis dan sintal. Menurut teori dan hitungan di atas kertas, seharusnya Dini punya kans untuk jadi karyawan yang punya karir cemerlang.
Sudah 5 tahun terakhir Dini resah, curhat ke beberapa orang yang dianggap bisa menolongnya, termasuk ke atasannya di kantor lamanya. Hasilnya tidak ada, hanya ada satu kunci yang sempat disinggung sahabat kuliahnya, yaitu “Kamu itu Jawa banget sih. Terlalu permisif”. Itu saja, dan hingga bertemu saya di ruang terapi, Dini masih belum clear tentang apa yang terjadi di balik kemuraman hidupnya.
Dari sesi terapi akhirnya diketahui apa yang jadi akar masalahnya, ternyata yang selama ini menjadi penghalang bagi kemajuan karir nya karena adanya imprint tentang posisi wanita dalam dunia kerja. Belief/kepercayaan yang tertanam di dalam diri Dini sejak kecil, biasanya oleh orang-orang yang memiliki pengaruh yang besar pada dirinya, dalam hal ini orang tua-nya. Imprint menjadi program pikiran yang masuk ke pikiran bawah sadal ketika seseorang mengalami emosi yang intens, misalkan imprint kena air hujan akan berakibat sakit flu. Program pikiran ini ditanamkan dengan kondisi orang tua menekankan emosi takut, khawatir pada anak-anaknya, sehingga imprint ini menjadi kepercayaan yang terbawa hingga dewasa. “Nak,…jangan sampai kehujanan, nanti bisa flu, pilek, dan demam!” Begitu kuatnya imprint, seseorang bisa sakit flu karena terkena percikan air hujan, namun tetap sehat meskipun kepalanya terguyur air dingin saat keramas.
Imprint yang tertanam dalam pikiran bawah sadar Dini adalah kepercayaan khas feodal bahwa perempuan adalah warga kelas dua dalam hal rumah tangga dan pekerjaan. Kepercayaan itu makin kuat karena beberapa aturan dalam keluarga Dini dijalankan berdasarkan hal ini, misalnya perbedaan hak antara Dini dengan saudara-saudara laki-lakinyanya. Tak pelak, imprint inilah yang menyabotase setiap kesempatan yang datang padanya, terutama jika kesempatan itu membuat Dini harus bersaing dengan pria. Secara tidak sadar, Dini membiarkan dirinya “kalah” di setiap kesempatan yang membuatnya harus bersaing dengan pria. Tak hanya itu, Dini bahkan juga menekan dirinya untuk tidak tampil di situasi yang sebenarnya justru menguntungkan karirnya. Selama proses terapi dalam kondisi hipnosis ternyata imprint ini pun merambah ke urusan asmara Dini, sehingga tanpa sadar Dini selalu berada di situasi dimana dia jatuh cinta dengan pria-pria yang ter-intimidasi dengan kemandirian dan etos kerja-nya. Ketika itu terjadi, imprint kembali mendorong Dini untuk menekan dirinya guna menurunkan standart nilai yang telah dia tetapkan selama ini, semua demi untuk menjaga kepercayaan yang tertanam di pikiran bawah sadarnya, termasuk untuk menyenangkan pria yang jadi pasangannya, tugas seorang wanita. Dini bahkan tak sadari ada yang salah meskipun selalu dalam situasi yang sejenis, setiap bentuk sikap yang menunjukkan rasa kurang nyaman dari pasangannya dianggap sebagai alarm pribadi supaya Dini menahan dirinya. Lama kelamaan, tanpa sadar, Dini tersiksa dengan kondisi ini, baik di kehidupan personal maupun professional. Dini seperti kehilangan jati dirinya, seperti matahari yang dilarang dan melarang dirinya untuk bersinar karena takut sinarnya menyakiti manusia.
Setelah menjalani beberapa kali sesi terapi, kini Dini mampu menempatkan dirinya sesuai situasi yang terjadi pada dirinya. Hypnotherapy bukan untuk membuat Dini menjadi seseorang feminis yang melupakan kodratnya sebagai seorang perempuan, namun untuk melepaskan tekanan emosi yang tersimpan di dalam dirinya selama bertahun-tahun, kemudian menetralkan pemaknaan yang salah akibat imprint dari lingkungan keluarganya, sekaligus membantu Dini untuk memahami jati dirinya dengan lebih baik sehingga menguatkan dirinya untuk menghadapi segala situasi dalam hidupnya.
Dini yang baru berani mengambil tantangan dengan upaya terbaik yang tetap mempertimbangkan resiko meskipun ketika harus berkompetisi dengan pria. Dalam urusan asmara pun, pemahaman Dini turut ber-evolusi. Dini tak memaksakan dirinya untuk masuk dalam relasi asmara dengan pria yang sejak awal memang merasa terintimidasi dengan potensi dan aktivitas Dini serta kurang mampu menerima Dini apa adanya. Bahkan Dini percaya bahwa suatu hari nanti dia akan segera menikah dengan pria yang justru bersama-sama berkerja keras dan mendorong teraihnya mimpi-mimpi besar Dini.
“Whatever you feel, you become. It is your responsibility- Osho.”
Itulah Dini yang baru,..
Yang bebas dari keluhan sakit kepala, leher bagian belakang dan bahu kaku, sehingga tak perlu heboh minum Bodrex setiap kesakitan,….
Yang berani mengambil tantangan tanpa memilih siapa yang menjadi kompetitornya,….
Yang lebih menghargai dirinya sendiri tanpa harus terikat dengan pria yang secara natural sudah terintimidasi dengannya,…
Alhamdulillah,…pembelajaran yang sungguh berharga. Membuat diri sendiri untuk tidak berbicara dengan orang-orang terdekat secara kasar atau sembarangan, karena dampak dapat ditanggung hingga puluhan tahun.
Sungguh mulut adalah harimaumu,…
Surabaya, 3 Oktober 2013
Discussion
No comments yet.